Minggu, 11 Januari 2009

Mas Edy; Di antara Lukisan Airbrush dan Lukisan Kaca

Mas Edy;
Di antara Lukisan Airbrush dan Lukisan Kaca
Gedung Kesenian Societeit de Harmonie – Makassar , 4 - 7 Agustus 2004

Tentang Proses Olah Seni Mas Edy !

Pameran bagi seorang seniman tidak hanya merupakan penyajian terhadap karya yang telah dihasilkannya dalam satu kurun waktu proses kreatif tertentu tetapi juga merupakan awalan untuk proses yang selanjutnya. Apa yang akan diperbuat selanjutnya mungkin merupakan misteri yang tidak mungkin diketahui, bahkan bagi senimannya sendiri.

Dalam konteks pameran ini, kata ‘misterius’ digunakan sebagai wacana yang mengiringi proses kreasi Mas Edy (panggilan akrab Edy Soeprapto) yang tercermin dalam karya-karyanya. Mas Edy dalam mengarungi proses olah seninya, tidaklah bergerak dalam satu alur proses kreatif saja dengan kecendrungan lurus, akan tetapi dari perjalanan berkeseniannya ia secara dinamis bergeser dari satu alur proses ke alur proses kreatif lainnya.
Hal ini tiudak hanya dilakukannya sebagai upaya perambahannya di dunia seni dalam mencari alternative berbagai media ungkap, tetapi juga sikap Mas Edy yang dengan berani melepaskan diri dari keharusan untuk tetap pada satu alur gagasan kreatif saja. Sehingga yang tampak dalam setiap periode berkeseniannya, muncul berbagai hasil olah seni dengan pemanfaatan berbagai media ungkap, yang ternyata memposisikan Mas Edy sebagai seniman yang ‘kaya’ dalam media ungkap. Sebutlah misalnya kemampuannya dalam menguasai teknik kuas, airbrush dengan memanfaatkan pen brush (spoit), sampai pada melukis di atas kaca dengan teknik grafir.

Dan, apa yang tersaji pada pameran kali ini sebaiknya dipahami sebagai sebuah ‘proses’ dari sekian banyak proses yang mesti dilalui oleh setiap insan manusia, khususnya bagi seorang seniman dalam pengembaraan mencari jati dirinya.
Akhirnya, aktivitas dan kreativitas manusia senantiasa terkait dengan perjalanan waktu dan perubahan ruang. Wilayah kreativitas seni disepanjang zaman tidak mengenal batasan atau tempat pemberhentian, kecuali manusia yang menekuninya yang harus tertib pada hukum waktu.
Salam Apresiasi dan Selamat Berpameran!!!

Makassar, 18 Mei 2004

Pangeran Paita Yunus
Pengajar pada Jurusan Seni Rupa FBS Universitas Negeri Makassar /
Kurator Galeri Seni Rupa ‘Colli PakuE’
Dunia Mas Edy, Sebuah Wawancara

Mas Edy lahir dan dibesarkan di lingkungan keluarga yang tergolong kurang mampu di Sidoarjo – Jawa Timur, ia merupakan anak ke dua dari lima bersaudara. Kedua orang tuanya bercerai ketika ia masih kecil. Ia dilahirkan dari keluarga yang cinta akan seni tradisional. Ibunya adalah seorang pemain ‘ludruk’ sedang bapaknya juga aktif sebagai penari ‘reog’ dan ‘kuda lumping’. Masa kecil Mas Edy tidak bisa terlepas dari anak zaman dimana kesenian tradisional itu berkembang, bahkan ia terlampau akrab dan terlibat dalam eksistensi kesenian tersebut.
Mas Edy telah menampakkan bakat menggambarnya pada masa kanak-kanak, sejak kelas IV SD.
Selain melukis di atas kanvas dan di atas media kaca, Mas Edy saat ini lebih dikenal sebagai pe-brusher (sebutan bagi orang yang bergelut dibidang media airbrush) dengan tema dan pengembangan gagasan yang cemerlang yang membedakannya dengan pe-brusher yang ada di Makassar.
Pengalaman-pengalaman yang diperolehnya selama bereksperimen dengan media airbrush maupun dengan kaca, banyak membantu dalam proses pencarian jati dirinya sebagai pe-brusher yang cukup dikenal di kota Makassar. Yang lebih berarti lagi adalah konsep yang melandasi beberapa karya yang dihasilkannya, terutama mengangkat idiom-idiom, perlambangan ke dalam ekspresi rupa yang tidak lagi terkurung dalam pakem-pakem kesenirupaan yang lazim. Selain itu, metode pengejawantahan lukisan airbrush dan kacanya tidak lagi menggunakan acuan ataupun patron/mall, ia langsung berekspresi saat sebuah obyek mulai digarap. Bahkan belakangan ini, Mas Edy dalam berekspresi tidak lagi menggunakan sketsa awal, berkarya lebih secara intuitif dan spontan.

Istilah Airbrush (Inggris) diambil dari kata latin air yang berarti udara atau angin; brushes yang berarti alat sikat atau kwas. Arti seutuhnya, airbrush adalah alat khusus yang relative kecil yang memiliki semacam jarum atau mata pena (pen brush) untuk menyemprotkan cat melalui percikan dengan bantuan tekanan udara.
Teknik airbrush ini pertama kali ditemukan oleh Charles Burdick pada tahun 1893 ketika ia mengalami kesulitan untuk menemukan medium yang diperlukan untuk suatu proyek besar yang harus ia selesaikan. Sehingga Charles Burdick harus berpikir bagaimana memproduksi mostlysuper-realistic pictures.

Berikut hasil wawancara lisan dan beberapa pertanyaan tulisan dengan Edy Soeprapto (kami biasa menyapanya Mas Edy), sebagai salah satu kelengkapan untuk menyertai pameran tunggalnya di Gedung Kesenian Societeit de Harmonie Makassar, 4 – 7 Agustus 2004, yang didukung oleh Badan Kerjasama Kesenian Indonesia (BKKI) Kota Makassar. Berikut petikannya.

• Anda lahir di mana dan tanggal berapa ?, Ceritakan sedikit tentang keluarga anda!
Saya dilahirkan di Sidoarjo Jawa Timur pada tanggal 28 Pebruari 1968. berasal dari keluarga yang akrab dengan kemiskinan. Saya sendiri adalah anak ke-2 dari 5 bersaudara, kedua orang tua saya bercerai ketika saya masih kecil.

• Bisakah anda ceriterakan dari mana bakat melukis anda, dari kakek atau Ayah atau siapa!
‘darah seni’ diwariskan oleh ibunda tercinta yang asli Gowa-Palopo. Dulunya beliau pernah bergabung dalam kelompok teater rakyat Jawa Timuran ‘Ludruk’. Selain di militer, bapak yang asli Jember, juga aktif sebagai penari ‘reog’ dan ‘ kuda lumping’.

• Tolong ceriterakan sejak kapan anda mengenal seni lukis (kesenian) !
Sejak kelas VI SD, memasuki SMP

• Selain karena hobby melukis, apakah ketertarikan anda pada airbrush juga terkait dengan masalah ekonomi?
Saya tidak ingin membohongi diri sendiri atau munafik. Factor ekonomi memang yang banyak mempengaruhi hingga mendorong saya beralih dari kuas ke airbrush. Tapi factor itu bukanlah menjadi tujuan utama atau tujuan hidup saya. Artinya bila saya bisa mengatasi factor yang satu ini, artinya bisa melengkapi segala kebutuhan saya untuk berkarya, misalnya bisa membeli segala peralatan untuk berkarya, maka pada akhirnya juga memberi keleluasaan, ketenangan bagi saya tanpa harus lagi terbebani dengan harga-harga kanvas, cat, dan kebutuhan lainnya. Jadi inilah cara saya beproses dalam berkesenian. Kalaupun pada akhirnya saya memilih ‘airbrush’ sebagai lahan berkesenian saya, semata-mata karena sikap profesionalisme saya mulai tumbuh sejalan dengan kepercayaan dan antusiasme masyarakat penikmat airbsrush itu sendiri, dan akhirnya menuntut saya untuk memilih.

• Apa yang mendorong anda sehingga tertarik menggeluti seni lukis air brush ini !
Interaksi langsung antara karya saya dengan penikmat airbrush. Misalnya pada badan kendaraan motor atau mobil. Di sini saya merasakan suatu kepuasan yang tak ternilai. Melihat karya saya di bawa kemana-mana oleh si penikmat tadi. Kemudian teknik airbrush itu yaris tak terbatas medianya, semua bisa digarap kecuali langit dan laut.

• Jikalau mengamati karya –karya airbrush anda, terlihat rata-rata berangkat dari unsur modern (kartun, bendera amerika, tengkorak, burung elang, dan lain-lain), pernahkah terpikirkan oleh anda untuk memadukan antara unsur modern dengan tradisional ?, contohnya !
Memang untuk sementara ini saya masih mendahulukan ide-ide dari penikmat (pemesan). Tetapi dalam hati kecil saya selalu ada keinginan-keinginan yang tidak dibatasi oleh ide-ide tadi. Tema-tema social, keterbelakangan, ketidakadilan, etnik, budaya bahkan kekotoran-kekotoran kalangan elit politik, selalu mengganggu nurani saya untuk mengangkat tema-tema tersebut. Saya bisa berikan dua contoh 2 (dua) contoh karya saya di atas kaca relief. Seorang gadis penari Bali sedang berdandan. Saya beri judul “Balinesse”. Yang kedua yaitu “Satrio Pininggit”. Di karya ini saya gambarkan seekor monyet berjas, berdasi dan berkaca mata. Berlatar bendera merah putih layaknya seorang presiden.
Sebenarnya itu semua adalah bentuk protes saya kepada sebagian masyarakat Jawa yang terlalu mengagungkan primbon-primbon atau pun ramalan akan datangnya “Satrio Pininggit”, seorang pemimpin yang sempurna dan ideal. Tetapi melihat suasana Negara kita yang kian amburadul, mungkin sah-sah saja saya menuangkan semua itu lewat kayra “Satrio Pininggit”, karena bagi saya sekarang ini sudah terlalu susah untuk membedakan manusia dan hewani.

• Apa yang membedakan karya airbrush anda dengan karya pe-brusher lainnya! (yang menjadi ciri khas anda) !
Kalau sekarang ini saya cenderung melukis tanpa alat Bantu berupa maal, mungkin itu yang sedikit membedakan saya dengan saudara-saudara saya sesama pe-brusher. Dan itulah hakekat airbrush yang tidak bisa disamakan dengan Advertising yang selalu terpaku pada maal dan ukuran-ukuran tanpa menuntut kedetailan. Sementara airbrush memang membutuhkan kedetailan, spontanitas sepuhan, dan cenderung mengharamkan alat Bantu

• Jikalau mengamati karya lukis anda, rata-rata dikerjakan di atas kaca. Bukankah masih terdapat kemungkinan untuk menggantikan kaca dengan bahan serupa!
Untuk lukisan kaca saya telah membuat sekitar 20-an karya, itupun karya pesanan. Dibanding lukisan di atas kanvas atau plat masih tertinggal jauh. Jadi jikalau dikatakan rata-rata, tidak juga.
Disini kadang terjadi juga kejenuhan-kejenuhan dalam diri saya yang sepanjang tahun melayani order demi order. Di saat jenuh itu terkadang muncul ide-ide gila bahkan pikiran-pikiran kotor dalam berkarya. Saya sendiri harus menerima kalau semua teman-teman menjuluki saya ‘orang gila’ atau ‘Jawa gila’ atau ‘ Jawa rotasa’.
Kaca itu sebenarnya hanya untuk sebenarnya hanya untuk eksperimental saja bagi saya. Meskipun saya bukanlah orang pertama yang melukis di atas media kaca ini. Dengan peralatan saya yang masih minim, saya belum terlalu berani menuju ke sana. Dan untuk pertimbangan kesehatan, saya sementara ini vakum dulu, karena terlalu riskan bagi kesehatan terutama paru-paru. Dan meskipun media ini mempunyai prospek yang cukup bagus, saya belum punya cukup keberanian dengan peralatan yang saya miliki sekarang. Mungkin besok atau lusa….. ah..ah…ah.

• Apakah cermin juga bisa dimanfaatkan!
Ada beberapa karya di atas cermin, kaca rayban. Salah satunya ‘Potret Bung Karno; dan ‘Dewi Kwan Im’.

• Jikalau mengamati karya anda, saya bisa membagi dalam dua kategori yakni: karya pesanan dan karya murni untuk seni. Bagaimana tanggapan anda !
Ya.

• Dalam berkarya airbrush, kesulitan apa yang anda rasakan? Apa pada detail ? atau pada bagian apa?!
Mungkin karena kenekatan dan kecendrungan saya memakai teknik ‘freehand’. Kesulitan biasanya saya dapatkan pada bagian mata.

• Bagaimana tanggapan/respon masyarakat (penggemar otomotif, pemerintah daerah, masyarakat umum) terhadap karya airbrush?
Respon semakin baik, semakin meningkat, khususnya dari pihak polisi lalu lintas. Tidak segarang dulu lagi menyoalkan warna atau pun perubahan warna kendaraan. Belakangan bahkan banyak aparat yang tertarik membawa kendaraannya ke studio saya. Kemajuan !

• Pendapat anda, bagaimana posisi lukisan kaca dalam perkembangan seni lukis di Indonesia sekarang dan di masa mendatang ?
Saya tidak berani mengeluarkan pendapat untuk media ini.

• Apa obsesi (keinginan yang belum tercapai) anda sebagai seorang pe-brusher ?!
Obsesi saya sederhana saja. Saya ingin airbrush mendapat tempat, pengakuan dan bersanding dengan aliran-aliran lain, insya Allah !.

Pertanyaan tambahan:

• Berapa lama waktu yang anda butuhkan dalam melukis 1 (satu) obyek
Untuk badan kendaraan , motor kurang lebih 3 hari per unit, sedang mobil membutuhkan waktu 1 minggu per unit. Untuk lukisan di atas kanvas masih tergantung pada ukuran kanvas.

• Pada bidang apa saja anda bisa melukis dengan menggunakan airbrush ?
Hampir semua bidang dan media kecuali langit dan laut … ah…ah..ah.

• Berapa biaya yang mesti dikeluarkan oleh pemesan terhadap sebuah karya yang anda buat?
Untuk motor bebek sekitar Rp. 750.000 – Rp. 1.500.000.-, sedang untuk mobil Rp. 3.000.000 – Rp. 5.000.000.- itu pun tergantung pada tingkat kesulitan obyek dan motif yang diingini oleh pemesan.



Makassar, 17 Juli 2004


Pangeran Paita Yunus
Kurator Seni Rupa
Galeri Colli Pakue FBS Universitas Negeri Makassar

JEAN-MICHEL BASQUIAT: GRAFITI DAN IDEOLOGI ARTISTIKNYA

Oleh: Pangeran Paita Yunus


Bagian Pertama:
Situasi Yang Mengawali
Paling tidak dari sejak awal abad 19, kota Paris selalu menjadi pusat panggung peristiwa sejarah seni rupa modern di Barat. Seniman penganut Neoklasik, Romantisme, begitu pun kaum Impresionis dan Realis serta kelompok-kelompok lain sesudahnya berada di Paris. Pada saat Ekspresionoisme berkumandang di Eropa, maka kota Munchen di Jerman untuk beberapa lama menjadi pusat perhatian dunia seni rupa. Begitu pula ketika Abstrak Ekspresionisme menjadi dominan di Barat, maka mata dunia pun beralih tertuju kepada Amerika Serikat, khususnya kota New York. Dan sebagaimana kita ketahui bersama, ketika itu, New York – Paris atau pun London saling berebut tempat di depan untuk merebut sebagai pelopor dunia seni rupa modern, dan dalam banyak hal dan kesempatan ternyata New York sering menjadi pemenang.

Pasca Impresionisme, sebagaimana kita ketahui telah memberikan dua dasar yang kuat bagi perkembangan seni rupa selanjutnya, yaitu dasar kebentukan yang dipelopori oleh Paul Cezanne dan George Seurat, dan dasar kekuatan ekspresi yang dipelopori oleh Paul Gauguin dan Vincent Van Gogh. Dua dasar itulah yang nantinya ternyata merupakan landasan yang kuat bagi tumbuhnya aliran-aliran seni rupa pada abad 20/21 yang makin lama jumlah makin banyak. Boleh dikatakan bahwa aliran-aliran yang ada pada dasawarsa tahun tujuhpuluhan kesemuanya dapat dikembalikan pada dua kutub tersebut, yaitu kutub yang mengejar kekuatan bentuk dan struktur dan kutub yang sangat dominant pada kekuatan dan kepekaan ekspresi, atau gabungan antara keduanya. Konstruktivisme, Kubisme, Abstrak Formalisme, minimal art, earth art, neoplastisisme adalah aliran-aliran yang sangat kental dengan kebentukan, sedangkan Surrealisme, abstrak ekspresionisme, fauvisme adalah aliran-aliran yang datangnya dari kubu Ekspresionisme.

Mengamati alur sejarah perkembangan seni rupa modern Barat yang begitu jelas dengan tensi perubahan yang cepat, maka pertanyaan yang muncul adalah dimana posisining Jean-Michel Basquiat dalam perkembangan seni rupa Barat (Amerika), siapakah dia, dan mengapa dengan begitu cepat ia terkenal dan sebegitu cepat pula ia pergi?



Bagian Kedua:
Karya Basquiat: Idiom Seni Rupa Pembrontakan

Basquiat tampil sebagai pelukis di saat bangsa dan rakyat Amerika (New York:Kulit hitam) mengalami satu tingkat ketegangan dan keruwetan sosial yang sangat tinggi dengan berbagai krisis dan kekuatiran. Yaitu zaman dimana orang mesti berpikir keras untuk memahami dan menanggulangi berbagai perubahan yang secara faktual datang begitu deras, mendadak dan simultan. Ini mengakibatkan berbagai goncangan sosial-budaya. Secara langsung maupun tidak mempengaruhi ekspresi-ekspresi seni. Dalam keadaan seperti ini orang membutuhkan cara-cara pandang, ungkapan, dan perumpamaan baru untuk memahami keadaan guna mencari solusi bagi permasalahan yang mengemuka.

Ungkapan-ungkapan baru itu bisa saja idiom-idiom lama yang ditempat dalam satu konteks yang baru misalnya. Bisa juga sang seniman meminjam idiom-idiom serta ekspresi-ekspresi yang datang bersamaan dengan datangnya budaya-budaya baru. Dalam konteks perjalanan berkesenian Basquiat pada masa itu, budaya populer-lah yang paling dominan, yaitu budaya yang dalam peredaran dan perputarannya lebih memberi ruang yang luas bagi kaum muda. Bisa pula campuran dari elemen-elemen berbagai zaman dan dari bahasa/budaya berbeda. Yang jelas ungkapan-ungkapan baru itu tidak serta merta dapat diresapi dan bisa menyejukkan ’mata’. Kerap kali yang baru itu sering nampak menakutkan bagi banyak orang. Namun ekspresi-ekspresi baru tidak akan bisa dibendung, mereka menghambur di setiap waktu dan budaya sebagai indikator-indikator zaman.

Sebelum munculnya Basquiat, di tahun 1960-an telah tampil Pop-Art yang dipelopori Richard Hamilton, Roy Lichtenstein, Jasper Johns dan Andy Warhol yang merupakan hasil eksplorasi atas kombinasi media, modal dan benda-benda yang memanjakan pemakainya. Isme ini sedemikian kuat dan dahsyat mengendalikan selera publik atas karya seni. Pop-Art mengangkat kebanalan dari budaya konsumtif masyarakat kapitalis sebagai pernyataan berkesenian mereka. Salah seorang pelopor seni ini di Amerika adalah Andy Warhol.

Tahun 1980-an, ditengah kepopuleran Andy Warhol muncul Basquiat seniman muda berbakat alami yang tidak begitu dikenal publik seni, pengamat, kolektor, apalagi kritikus seni pada masa itu. Basquiat adalah pemuda yang senang iseng mencorat-coret, membuat gambar/huruf grafiti di tembok-tembok toko, galeri-galeri mewah dengan penanda “Samo” = same old shit (tahi yang itu-itu juga) tapi tidak dikenal siapa pembuatnya. Ini adalah salah satu bentuk kejengkelan Basquiat terhadap pengelola galeri, kolektor dan media yang hanya menampilkan seniman-seniman yang sudah tenar pada masa itu, seperti misalnya Andy Warhol.

Perkenalan dan persahabatan dengan Andy Warhol menjadi simbol dari pertemuan dua kontras yang berbeda. Warhol yang berkulit putih dengan penampilan yang trendy dan necis dan Basquiat yang berkulit hitam dengan penampilan seronok dan fanky. Persahabatan inilah yang ’dijual’ kepada publik Amerika. Warhol sendiri bersedia menjadi mentor bagi Basquiat. Basquiat pun tumbuh menjadi populer menyamai mentornya.

Dalam masa produktifnya yang begitu singkat (1960-1988), Basquiat menunjukkan siapa dirinya. Dia seorang ’seniman’ yang barangkali tidak memiliki pretensi menjadi seniman. Ia berkarya atas keinginan berkreasi semata. Bukan berkarya untuk melayani keinginan pasar dan kolektor.
Persahabatan Warhol dengan Basquiat yang singkat menjadi simbol bekerjanya pasar, modal, media, dan manajemen kreatif terhadap dua seniman yang penuh paradoks itu. Andy Warhol yang senang dengan mereproduksi tokoh yang dianggap menjadi ikon-ikon publik sebagai bentuk representasi atas alienasi personal dalam masyarakat modern yang kapitalistik. Sementara Basquiat mengubah figur-figur yang stilistik secara ekspresif. Figur manusia dalam karya Basquiat, bukanlah model realis ataupun surealis, tapi ekspresi esensial, dimana manusia hanyalah digambar dalam bentuk kerangka saja, atau tubuh yang flat tanpa nuansa (Dwikora, 2005).

Gaya grafiti dalam karya Basquiat muncul dalam bentuk tulisan ekspresif, puisi, pernyataan-pernyataan, protes, pamplet tanpa pretensi pasar. Hal ini sangat berlawanan terhadap bergairahnya pertumbuhan pasar modal, hedonisme dan kapitalisme Kota New York tahun 1980-an.

Mengamati karya seni lukis Basquiat, maka kita tak akan lepas dengan pergerakan Grafiti-Wall-painting, Abstrak-Ekspresionisme, dan Pop Art yang berkembang sekitar tahun 1960-an di Amerika. Dari beberapa karya yang ditampilkan pada pemutaran film tentang Basquiat, menunjukkan dengan jelas bahwa ia bekerja murni dari ekspresi jiwanya yang paling dalam, naif-kekanak-kanakan yang murni dari re-imajinasi atas memori mengenai obyek-obyek yang terungkap dalam lukisannya. Misalnya pada karyanya ”Fink Elephant with Fire Engine” (1984).

Apakah ungkapan visual Basquiat yang naif-ekspresif dan melawan pakem estetika artistik pada masa itu merupakan refresentasi pembrontakannya terhadap subordinasi kultural terhadap warga negara Amerika berkulit gelap seperti dirinya, ataukah pengaruh pikiran alam bawah-sadar yang merupakan akumulasi endapan amarah atas dominasi dan diskriminasi kaum elit ’kulit putih’ pada saat itu.

Dalam karya yang lain, ”Monalisa” (1983) menggambarkan sosok Monalisa dalam wajah yang buruk tanpa ekspresi, penuh dengan goresan-goresan liar dan tulisan-tulisan grafiti yang khas Basquiat. Pencitraan ini jauh dari Monalisa-nya Leonardo da Vinci yang anggun dengan senyum yang penuh misteri. Hal ini bisa merupakan bentuk ’pembrontakan’ Basquiat terhadap antusias dan perhatian yang berlebihan publik seni terhadap ’Monalisa’ karya da Vinci.

Bagian Ketiga:
Karya Basquiat, Menyodorkan Masalah Untuk Dikaji

Dalam prosesnya, saya melihat karya Basquiat merupakan fase lanjutan gejala lain dalam perkembangan seni lukis modern dunia yang berlangsung pada dekade tahun 1970-an dan 1980-an. Seni rupa yang tumbuh pada dekade ini menurut beberapa kritikus adalah dekade seni rupa pembrontakan (penentangan, penerobosan, perombakan).

Seperti lazimnya seni rupa pembrontakan, seni rupa dekade 1970-1980 itu tidak memiliki identitas stabil karena sifatnya yang reaktif, radikal dan tak tersusun secara sistematis. Karena itu baru pada dekade 1980 akhir, setelah munculnya perkembangan pasca-pembrontakan, dasar-dasar seni rupa pembrontakan itu menjadi jelas: menentang prinsip-prinsip modernisme.

Pada masa ini, seni rupa pasca-modern itu tidak lagi menentang modernisme, tapi meninggalkannya. Gejala munculnya pada tahun 1960-an, namun baru menjadi jelas pada dekade 1980-an setelah di tahun 1970-an dipengaruhi pemikiran-pemikiran filsafat post-strukturalisme Eropah.

Saya melihat karya-karya Basquiat merupakan salah satu contoh kecendrungan seni rupa kontemporer yang diwarnai pula oleh perkembangan yang berlawanan, yaitu ‘modifikasi kecantikan lukisan’. Hal ini berkaitan dengan tumbuhnya bisnis dan pasar seni rupa. Arus ini meluaskan praktek seni lukis dan menyerap sejumlah besar perupa, khususnya pelukis. Kendati dasar perkembangannya seni rupa komersial, tidak bisa di sangkal terdapat pula perkembangan seni lukis yang berkualitas di antara seni lukis komoditi ini. Sifatnya yang komunikatif dan idiomnya yang populer, paling tidak menyodorkan masalah untuk dikaji.

Makassar, 29 Maret 2006


Pangeran Paita Yunus
Pengajar pada Jurusan Seni Rupa FBS Universitas Negeri Makassar

Pendidikan Seni semakin termajinalkan

Oleh: Pangeran Paita Yunus**

Pendidikan seni di Indonesia, baik di SD, SLTP, dan SMU saat ini semakin terpinggirlan. Hal mana tidak bisa dihindari karena pengembangan kurikulum pendidikan di Indonesia cenderung memprioritaskan pendidikan yang bermuatan ilmu pengetahuan dan teknologi dari pada yang lainnya termasuk diantaranya pendidikan seni. Padahal pendidikan seni di sekolah tidak kalah penting dan bermanfaatnya dibanding ilmu lainnya karena ia bertujuan untuk menyiapkan sumber daya manusia yang sehat mental, sosial, menghargai alam,seni dan budayanya.

Kenyataannya, hingga saat ini pendidikan seni di sekolah-sekolah (SLTP-SMU), tampaknya masih belum mencapai tujuan seperti yang diharapkan. Faktor-faktor penyebab ketidaktercapaian harapan tersebut antara lain adalah bentuk kurikulum yang harus disempurnakan, terbatasnya bahan ajar yang bersumber pada seni dan budaya Indonesia, sarana dan prasarana serta rendahnya wawasan dan profesionalisme para pendidiknya. Dampak dari situasi ini adalah semakin lemahnya pemahaman dan kurangnya apresiasi/penghargaan generasi muda terhadap kesenian, khususnya seni tradisional Indonesia.

Sebagai ilustrasi, dalam kurikulum 1994, mata pelajaran pendidikan seni di SLTP mencakup tiga bidang yaitu seni rupa, seni musik, dan seni tari. Dari tiga bidang seni itu, diwadahi dalam satu mata pelajaran Kerajinan Tangan dan Kesenian (KTK) masing-masing bidang seni itu diberi waktu yang setara (biasanya satu jam pelajaran seminggunya). Semestinya, guru KTK hanya mengajarkan salah satu dari tiga bidang yang ada sesuai dengan latar belakang pendidikan guru. Namun dalam kenyataannya yang terjadi di lapangan guru seni rupa terpaksa melaksanakan kegiatan pembelajaran untuk tiga bidang studi, meskipun dengan wawasan seadanya. Mengapa demikian, agar tujuan dan ketercapaian target kurikulum.
• Disampaikan pada Diskusi Panel dengan tema “Telaah Kritis Pendidikan Seni”, yang diadakan oleh HMJ Pendidikan Seni Rupa – Sendratasik FBS Universitas Negeri Makassar di Galesong Kabupaten Takalar, tanggal 16 Maret 2003.
• Pengajar pada Jurusan Seni Rupa FBS Universitas Negeri Makassar

Secara khusus, bidang tari, musik, dan seni rupa di beberapa sekolah yang ada di Makassar dan daerah-daerah lainnya hampir terlupakan oleh perhatian guru, dengan berbagai alasan, antara lain: waktu terbatas, minat siswa yang kurang, dan keterbatasan kemampuan guru sehingga mata pelajaran KTK seperti di-anaktirikan, termarginalkan.

Ilustrasi kedua, beberapa orang berpandangan bahwa pembelajaran KTK sangatlah mudah, karena hanya sekedar melatih keterampilan (psikomotorik) saja dan siapapun dapat mengajarkannya. Sehingga yang terjadi di beberapa sekolah adalah menugaskan guru bidang studi lain (guru olah raga / guru bahasa) untuk mengajarkan mata pelajaran KTK, karena guru bersangkutan bisa menyanyi, memainkan gitar, atau bisa menggambar walaupun dengan ilmu yang sangat terbatas.

Padahal dalam pembelajaran KTK, di samping bertujuan untuk mengembangkan factor psikomotorik juga terdapat pemahaman nilai-nilai estetis dan budaya yang terkandung di dalamnya. Artinya pendidikan seni di sekolah memiliki tujuan pokok untuk menumbuhkan kreativitas, kepekaan social terhadap lingkungan sekelilingnya, dan memperhalus kepekaan emosional (Maslow, 1971, Clark, 1980). Dengan pembelajaran tersebut diharapkan siswa akan mengalami proses pengolahan rasa yang dampaknya akan terasa setelah peserta didik berinteraksi dengan lingkungan dimana ia berada. Oleh Conny Semiawan (2001: 8) menyatakan bahwa proses pendidikan seni tersebut dapat mencegah kekerasan komunal dan mengedepankan kebersamaan dalam rangka pluralitas berdasarkan toleransi dan penghayatan pengalaman yang mendalam terhadap nilai-nilai keindahan.

Berdasar pandangan di atas, maka sinyalemen yang dikemukakan oleh Professor Ramesh Ghanta dari Kakatiya University India dapat memperoleh pembenaran dengan mengatakan bahwa “ bangsa yang menggusur pendidikan seni dari kurikulum sekolahnya akan menghasilkan generasi yang berbudaya kekerasan di masa depan, karena kehilangan kepekaan untuk membedakan nuansa baik/indah dengan buruk atau tidak indah” (Tabrani, 2001: 4), walaupun belum ada kajian yang mencoba mencari relevansi keduanya.


Apa Yang Mesti Dilakukan !

Dari apa yang telah dipaparkan di atas, maka perlu dipikirkan hal-hal yang dapat menjadi jalan keluar dari berbagai permasalahan dalam bidang pendidikan kesenian di sekolah, antara lain:
1. Kemampuan Guru
Guru merupakan kunci keberhasilan suatu proses pendidikan (Masunah, 1999) dan untuk mencapai hal itu, maka guru pendidikan seni harus mempunyai latar belakang seni dan dapat mengembangkan metodologi pengajaran sesuai dengan tingkat perkembangan siswa. Guru tidak bisa dianggap sebagai manusia yang serba bisa. Tidak mungkin dengan pengetahuan yang terbatas, seorang guru SD harus menguasai semua bidang studi yang diajarkan di sekolah. Oleh karena itu, di sekolah dasar perlu dipikirkan guru bidang studi bukan guru kelas seperti yang saat ini berjalan
2. Materi
Muatan materi Kerajinan Tangan dan Kesenian (KTK) pada kurikulum 1994 yang dirasa terlalu padat, maka perlu diusahakan penekanan pada kompetensi dasar siswa. Artinya, materi setiap mata pelajaran mesti disesuaikan dengan kebutuhan anak sesuai dengan perkembangan usianya. Isi muatan local disesuaikan kemampuan daerahnya. Oleh karena itu, pendidikan seni yang diharapkan adalah memiliki tujuan membina kreativitas dan menumbuhkan ide yang positif serta berkreasi, mengemukakan isi hatinya serta mampu memberi penghargaan terhadap hasil seni.
3. Ebtanas Yang Perlu Ditinjau
Asumsi yang berkembang di tengah masyarakat berpendapat bahwa nilai ebtanas merupakan tolok ukur keberhasilan mutu lulusan. Hal ini rupanya sangat berdampak kepada kinerja guru di lapangan. Artinya perlu dipikirkan jalan keluar terbaik untuk mengatasi kesenjangan antara mata pelajaran yang di Ebtanaskan dengan yang tidak. Guru yang mata pelajarannya tidak di Ebtanaskan akan asal-asalan dalam mengajarkan materinya yang akan berdampak pada siswa sendiri. Sebaliknya, guru mata pelajaran yang di Ebtanaskan akan merasa materinya lebih penting dibanding mata pelajaran lain. Persepsi yang sama juga terjadi pada siswa. Diharapkan kesenjangan ini dapat diatasi para penentu kebijakan, sehingga diharapkan nanti akan berdampak positif yakni semua mata pelajaran akan mendapat perlakuan yang seimbang oleh guru maupun peserta didik.

Salam,

Pangeran Paita Yunus