Minggu, 11 Januari 2009

Pendidikan Seni semakin termajinalkan

Oleh: Pangeran Paita Yunus**

Pendidikan seni di Indonesia, baik di SD, SLTP, dan SMU saat ini semakin terpinggirlan. Hal mana tidak bisa dihindari karena pengembangan kurikulum pendidikan di Indonesia cenderung memprioritaskan pendidikan yang bermuatan ilmu pengetahuan dan teknologi dari pada yang lainnya termasuk diantaranya pendidikan seni. Padahal pendidikan seni di sekolah tidak kalah penting dan bermanfaatnya dibanding ilmu lainnya karena ia bertujuan untuk menyiapkan sumber daya manusia yang sehat mental, sosial, menghargai alam,seni dan budayanya.

Kenyataannya, hingga saat ini pendidikan seni di sekolah-sekolah (SLTP-SMU), tampaknya masih belum mencapai tujuan seperti yang diharapkan. Faktor-faktor penyebab ketidaktercapaian harapan tersebut antara lain adalah bentuk kurikulum yang harus disempurnakan, terbatasnya bahan ajar yang bersumber pada seni dan budaya Indonesia, sarana dan prasarana serta rendahnya wawasan dan profesionalisme para pendidiknya. Dampak dari situasi ini adalah semakin lemahnya pemahaman dan kurangnya apresiasi/penghargaan generasi muda terhadap kesenian, khususnya seni tradisional Indonesia.

Sebagai ilustrasi, dalam kurikulum 1994, mata pelajaran pendidikan seni di SLTP mencakup tiga bidang yaitu seni rupa, seni musik, dan seni tari. Dari tiga bidang seni itu, diwadahi dalam satu mata pelajaran Kerajinan Tangan dan Kesenian (KTK) masing-masing bidang seni itu diberi waktu yang setara (biasanya satu jam pelajaran seminggunya). Semestinya, guru KTK hanya mengajarkan salah satu dari tiga bidang yang ada sesuai dengan latar belakang pendidikan guru. Namun dalam kenyataannya yang terjadi di lapangan guru seni rupa terpaksa melaksanakan kegiatan pembelajaran untuk tiga bidang studi, meskipun dengan wawasan seadanya. Mengapa demikian, agar tujuan dan ketercapaian target kurikulum.
• Disampaikan pada Diskusi Panel dengan tema “Telaah Kritis Pendidikan Seni”, yang diadakan oleh HMJ Pendidikan Seni Rupa – Sendratasik FBS Universitas Negeri Makassar di Galesong Kabupaten Takalar, tanggal 16 Maret 2003.
• Pengajar pada Jurusan Seni Rupa FBS Universitas Negeri Makassar

Secara khusus, bidang tari, musik, dan seni rupa di beberapa sekolah yang ada di Makassar dan daerah-daerah lainnya hampir terlupakan oleh perhatian guru, dengan berbagai alasan, antara lain: waktu terbatas, minat siswa yang kurang, dan keterbatasan kemampuan guru sehingga mata pelajaran KTK seperti di-anaktirikan, termarginalkan.

Ilustrasi kedua, beberapa orang berpandangan bahwa pembelajaran KTK sangatlah mudah, karena hanya sekedar melatih keterampilan (psikomotorik) saja dan siapapun dapat mengajarkannya. Sehingga yang terjadi di beberapa sekolah adalah menugaskan guru bidang studi lain (guru olah raga / guru bahasa) untuk mengajarkan mata pelajaran KTK, karena guru bersangkutan bisa menyanyi, memainkan gitar, atau bisa menggambar walaupun dengan ilmu yang sangat terbatas.

Padahal dalam pembelajaran KTK, di samping bertujuan untuk mengembangkan factor psikomotorik juga terdapat pemahaman nilai-nilai estetis dan budaya yang terkandung di dalamnya. Artinya pendidikan seni di sekolah memiliki tujuan pokok untuk menumbuhkan kreativitas, kepekaan social terhadap lingkungan sekelilingnya, dan memperhalus kepekaan emosional (Maslow, 1971, Clark, 1980). Dengan pembelajaran tersebut diharapkan siswa akan mengalami proses pengolahan rasa yang dampaknya akan terasa setelah peserta didik berinteraksi dengan lingkungan dimana ia berada. Oleh Conny Semiawan (2001: 8) menyatakan bahwa proses pendidikan seni tersebut dapat mencegah kekerasan komunal dan mengedepankan kebersamaan dalam rangka pluralitas berdasarkan toleransi dan penghayatan pengalaman yang mendalam terhadap nilai-nilai keindahan.

Berdasar pandangan di atas, maka sinyalemen yang dikemukakan oleh Professor Ramesh Ghanta dari Kakatiya University India dapat memperoleh pembenaran dengan mengatakan bahwa “ bangsa yang menggusur pendidikan seni dari kurikulum sekolahnya akan menghasilkan generasi yang berbudaya kekerasan di masa depan, karena kehilangan kepekaan untuk membedakan nuansa baik/indah dengan buruk atau tidak indah” (Tabrani, 2001: 4), walaupun belum ada kajian yang mencoba mencari relevansi keduanya.


Apa Yang Mesti Dilakukan !

Dari apa yang telah dipaparkan di atas, maka perlu dipikirkan hal-hal yang dapat menjadi jalan keluar dari berbagai permasalahan dalam bidang pendidikan kesenian di sekolah, antara lain:
1. Kemampuan Guru
Guru merupakan kunci keberhasilan suatu proses pendidikan (Masunah, 1999) dan untuk mencapai hal itu, maka guru pendidikan seni harus mempunyai latar belakang seni dan dapat mengembangkan metodologi pengajaran sesuai dengan tingkat perkembangan siswa. Guru tidak bisa dianggap sebagai manusia yang serba bisa. Tidak mungkin dengan pengetahuan yang terbatas, seorang guru SD harus menguasai semua bidang studi yang diajarkan di sekolah. Oleh karena itu, di sekolah dasar perlu dipikirkan guru bidang studi bukan guru kelas seperti yang saat ini berjalan
2. Materi
Muatan materi Kerajinan Tangan dan Kesenian (KTK) pada kurikulum 1994 yang dirasa terlalu padat, maka perlu diusahakan penekanan pada kompetensi dasar siswa. Artinya, materi setiap mata pelajaran mesti disesuaikan dengan kebutuhan anak sesuai dengan perkembangan usianya. Isi muatan local disesuaikan kemampuan daerahnya. Oleh karena itu, pendidikan seni yang diharapkan adalah memiliki tujuan membina kreativitas dan menumbuhkan ide yang positif serta berkreasi, mengemukakan isi hatinya serta mampu memberi penghargaan terhadap hasil seni.
3. Ebtanas Yang Perlu Ditinjau
Asumsi yang berkembang di tengah masyarakat berpendapat bahwa nilai ebtanas merupakan tolok ukur keberhasilan mutu lulusan. Hal ini rupanya sangat berdampak kepada kinerja guru di lapangan. Artinya perlu dipikirkan jalan keluar terbaik untuk mengatasi kesenjangan antara mata pelajaran yang di Ebtanaskan dengan yang tidak. Guru yang mata pelajarannya tidak di Ebtanaskan akan asal-asalan dalam mengajarkan materinya yang akan berdampak pada siswa sendiri. Sebaliknya, guru mata pelajaran yang di Ebtanaskan akan merasa materinya lebih penting dibanding mata pelajaran lain. Persepsi yang sama juga terjadi pada siswa. Diharapkan kesenjangan ini dapat diatasi para penentu kebijakan, sehingga diharapkan nanti akan berdampak positif yakni semua mata pelajaran akan mendapat perlakuan yang seimbang oleh guru maupun peserta didik.

Salam,

Pangeran Paita Yunus

Tidak ada komentar:

Posting Komentar